Upacara Grebeg, Budaya Asli Indonesia dari Yogyakarta-Grebeg merupakan upacara keagamaan kraton yang di adakan tiga kali dalam setahun bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw ( Grebeg maulud ), Hari Raya Idul Fitri ( Grebeg Syawal ), Hari Raya Idul Adha ( Grebeg Besar ). Pada hari itu Sri Sultan berkenaan memberi sedekah berupa gunung-gunungan berisi makanan dan lain0lain kepada rakyat. Upacara semacam itu di sertai dengan upacara penembahan Tuhan Yang Maha Kuasa oleh Sri Sultan sendiri di Sitihinggil-Utara dan kemudian pembacaan doa oleh kyai penghulu untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, kagungan agama dan kebahagiaan serta keselamatan kraton, nusa dan bangsa pada umumnya
Dalam buku Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis Soepanto dkk, dijelaskan bahwa Upacara Sekaten pada awalnya adalah suatu upacara yang diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur dan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut Aswameda . Sesaji itu diselenggarakan selama enam hari, yang dilakukan dengan doa-doa dan nyanyian-nyanyian pujian disertai dengan tatabuhan yang mengandung arti memuja arwah leluhur, untuk memohon berkat dan perlindungan. Kemudian tahap kedua disebut Asmaradana , yang diselenggarakan pada hari ketujuh, merupakan penutup tahap yang pertama. Dalam tahap ini diselenggarakan pembakaran dupa besar, disertai dengan mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama Hindu ke Jawa, maka upacara Asmaweda dan Asmaradana masuk pula ke dalam budaya Jawa. Dan pada jaman Hindu Jawa, raja-raja Jawa juga melestarikan upacara yang diwarisi tersebut.
Upacara Grebeg, Budaya Asli Indonesia dari Yogyakarta
Hal itu ternyata berlanjut pada abad ke-14 ketika agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Pada saat itu para pemuka agama Islam disebut wali. Wali yang terkenal pada masa itu berjumlah sembilan dan karena itu disebut Wali Songo. Oleh Wali Songo, upacara Asmaweda dan Asmaradana itu digunakan sebagai sarana menyebarkan agama Islam dan dilakukan dengan cara-cara yang Islami. Grebeg merupakan salah satu metode penyebaran agama islam pada waktu itu dengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat itu budaya dan seni bekembang dengan baik. Melalui metode ini, islam disebarkan dengan memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi. Gong Sekaten adalah ciptaan Sunan Kalijaga yang mempunyai falsafah mengajak orang masuk Islam. Yaitu : Keneng bunyinya nong nong nong., Kempul suaranya pung-pung-pung., Kendang bunyinya nggum. Semua gamelan itu bila dibunyikan bersama akan membentuk suara kesatuan yang unik yaitu: Nong-ning, nong kana nong kene, pumpung mumpung-mumpung, pul-pul-pul, ndang-ndang-ndang endang-endang tak ndang ndang tandang nggur, jegum.
Artinya ialah: di sana di situ, di sini, mumpung masih ada waktu atau masih hidup, berkumpullah dan cepat-cepat masuk agama Islam..
Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung makna dua kalimat syahadat. Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Kedua, bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Karena susah mengucapkan, akhirnya kata itu menjadi sekaten. Tradisi penyelenggaraan perayaan sekaten itu lantas berlanjut pada masa Kerajaan Mataram pertama di bawah pemerintahan Panembahan Senopati. Kini sekaten menjadi suatu tradisi di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan salah satu kewajiban seorang Sultan yaitu Sayidin Panata Gama, yaitu pemimpin agama yang berkewajiban menyebarkan agama islam.
Dalam upacara sekaten banyak mengandung simbol-simbol yang mempunyai makna untuk dakwah islam. Simbol – simbol yang disajikan mengandung pola-pola berpikir, dan nilai-nilai yang ingin diwujudkan. Simbol-simbol yang disajikan di dalamnya terkandung ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Sebelum diadakan sekaten biasanya diadakan malam sekaten yang di mulai dengan pengambilan tanah dan air dari 7 sumber mata air diantaranya Pengging, Cokrotulung, Masjid Demak, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Tarub guna pembuatan tungku yang akan digunakan untuk ritual Hajaddalem Adhang Nasi dengan menggunakan dandang Kyai Dudo. Malam sekaten biasanya diadakan di Pagelaran dan Alun – alun Utara Karaton.
Setelah proses persiapan acara grebeg Yogya selesai. Keesokan harinya adalah dimulainya arak-arakan. Prosesi rebutan gunungan atau yang dikenal sebagai grebeg ini diawali dengan arak-arakan prajurit kraton mengelilingi Kraton Yogyakarta. Setelah itu, barulah gunungan dikeluarkan untuk dibawa ke Masjid Gede yang terletak di alun-alun utara. Prosesi iring-iringan ini didahului oleh prajurit Bugis yang lantas disusul para abdi dalem sipat bupati, dan baru Kagungan Dalem Pareden (gunungan) yang terdiri dari enam gunungan. Keenam gunungan itu meliputi 2 buah gunungan lanang, 1 gunungan wadon, 1 gunungan gepak, 1 gunungan darat, serta 1 gunungan pawuhan. Semua gunungan itu dipenuhi oleh hasil pertanian seperti kacang panjang dan jagung. Dalam prosesi arak-arakan, salah satu gunungan lanang dibawa menuju Paku Alaman dan kemudian dibawa ke lapangan Sewandanan untuk diperebutkan pula. Ketika dibawa ke Paku Alaman, gunungan lanang ini dikawal lima ekor gajah.
Rebutan gunungan atau upacara grebeg diartikan merupakan simbol komunikasi kultural antara raja dan rakyatnya. Bahwa raja bisa sangat dekat dan memperhatikan rakyatnya (kawulo-nya). Ini ditandai dengan sang raja memberikan sejumlah hasil pertanian untuk rakyatnya. Sebetulnya, dalam tradisi perayaan sekaten ini tak hanya gunungan dan udhik-udhik yang sarat dengan berkah. Namun muncul pula ndok abang (telur yang diwarnai merah) serta kinang. Telur merah ini dipercaya sebagai penolak bala, sedangkan kinang jika dikunyah pas ketika gamelan berbunyi, dipercaya mampu membuat orang awet muda.
Upacara Grebeg, Budaya Asli Indonesia dari Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar